Sosiologi Komunikasi

Bagian 1: RUANG LINGKUP KOMUNIKASI

*Pengertian Komunikasi
Terdapat banyak definisi komunikasi yang dikemukakan oleh para ahli komunikasi. Ada yang hampir mirip, namun ada juga yang berbeda! Perbedaan-perbedaan yang muncul itu lebih banyak karena fokus perhatian atau titik tolak pembahasannya. Misalnya, ada yang menekankan pada persoalan koordinasi makna, ada yang lebih menekankan information sharing-nya, ada yang menekankan pentingnya adaptasi pikiran antara komunikator dan komunikan, ada yang lebih menfokuskan pada prosesnya, ada yang menganggap lebih penting menunjukkan komponen-komponennya, dan tentu saja masih ada yang lainnya lagi.
Dalam perspektif sosiologi, komunikasi itu mengandung pengertian sebagai suatu proses men-transmit/memindahkan kenyataan-kenyataan, keyakinan-keyakinan, sikap-sikap, reaksi-reaksi emosional, misalnya marah, sedih, gembira atau mungkin kekaguman atau yang menyangkut kesadaran manusia. Pemindahan tersebut berlangsung antara manusia satu kepada yang lainnya. Jadi, jelas bagi sosiologi komunikasi itu tidak sekadar berisi informasi yang dipindah-pindahkan dari seseorang kepada yang lainnya, melainkan juga meliputi ungkapan-ungkapan perasaan yang pada umumnya dialami oleh umat manusia yang hidup di dalam masyarakat.
Lingkungan komunikasi, setidak-tidaknya mempunyai 3 dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi sosial psikologis, dan dimensi temporal. Ketiga dimensi tersebut sering kali bekerja bersama-sama dan saling berinteraksi, dan mempunyai pengaruh terhadap berlangsungnya komunikasi.
Proses adalah suatu rangkaian aktivitas secara terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Yang dimaksud dengan kurun waktu tertentu itu memang relatif. Dia bisa pendek, tetapi bisa juga panjang/lama, hal tersebut sangat tergantung dari konteksnya. Proses komunikasi secara primer adalah komunikasi yang dilakukan secara tatap muka, langsung antara seseorang kepada yang lain untuk menyampaikan pikiran maupun perasaannya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu, misalnya bahasa, kial, isyarat, warna, bunyi, bahkan bisa juga bau.
Di antara simbol-simbol yang dipergunakan sebagai media dalam berkomunikasi dengan sesamanya, ternyata bahasa merupakan simbol yang paling memadai karena bahasa adalah simbol representatif dari pikiran maupun perasaan manusia. Bahasa juga merupakan simbol yang produktif, kreatif dan terbuka terhadap gagasan-gagasan baru, bahkan mampu mengungkapkan peristiwa-peristiwa masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Proses komunikasi secara sekunder adalah komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan alat/sarana sebagai media kedua setelah bahasa. Komunikasi jenis ini dimaksudkan untuk melipatgandakan jumlah penerima informasi sekaligus dapat mengatasi hambatan-hambatan geografis dan waktu. Namun, harap diketahui pula bahwa komunikasi jenis ini hanya efektif untuk menyebarluaskan pesan-pesan yang bersifat informatif, bukan yang persuasif. Pesan-pesan persuasif hanya efektif dilakukan oleh komunikasi primer/tatap muka.
Umpan balik komunikasi secara sekunder bersifat tertunda (delayed feedback), jadi komunikator tidak akan segera mengetahui bagaimana reaksi atau respons para komunikan. Oleh karena itu, apabila dibutuhkan pengubahan strategi dalam informasi berikutnya tidak akan secepat komunikasi primer atau tatap muka.
 
*Komunikasi Sosial dan Fungsinya  
Komunikasi sosial ialah suatu proses interaksi di mana seseorang atau lembaga menyampaikan amanat kepada pihak lain supaya pihak lain dapat menangkap maksud yang dikehendaki penyampai.
Unsur-unsur dalam komunikasi sosial, yaitu komunikator (pihak yang memulai komunikasi), amanat (hal-hal yang disampaikan dapat berupa perintah, kabar, buah pikiran, dan sebagainya), media (daya upaya yang dipakai untuk menyampaikan amanat kepada penerima), komunikan (orang atau satuan orang-orang yang menjadi sasaran komunikasi), dan tanggapan (respons) adalah tujuan yang diharapkan oleh komunikator).
Jenis-jenis komunikasi sosial adalah komunikasi langsung, komunikasi tidak langsung, komunikasi satu arah, komunikasi timbal-balik, komunikasi bebas, komunikasi fungsional, komunikasi individual, komunikasi massal, sedangkan fungsi komunikasi sosial adalah memberi informasi, memberi bimbingan, dan memberi hiburan
Komunikasi organik dapat juga disebut sebagai komunikasi fungsional. Harap jangan dilupakan bahwa kata-kata fungsional itu sumbernya bahwa elemen-elemen dalam masyarakat itu saling memberi kontribusi secara fungsional.
Efektivitas dan kesulitan komunikasi, antara lain mencakup masalah yang berhubungan dengan kriteria dan kesulitan komunikasi, sedangkan kesulitan komunikasi itu sendiri bisa karena kesulitan pada amanat, bahasa isyarat, bahasa lambang, dan dapat pula kesulitan itu terletak pada komunikan. Tentu saja bukan sekadar itu, kesulitan bisa juga terjadi pada media komunikasinya, kesulitan pada unsur sosial budayanya.
 
Bagian 2: KOMUNIKASI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI 
 
*Teori Struktural Fungsional  
Paradigma adalah pandangan fundamental tentang objek studi suatu ilmu pengetahuan. Dia juga membantu merumuskan apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang perlu diajukan dan bagaimana menjawab pertanyaan tersebut, serta aturan-aturan dalam menginterpretasi atau memberi makna terhadap data-data/fenomena yang diperoleh dari penelitian.
Teori fungsionalisme struktural berada dalam paradigma fakta sosial, tokohnya adalah Emile Durkheim. Menurut dia, ada dua tipe fakta sosial, yaitu struktur sosial dan pranata-pranata sosial. Kedua fakta sosial itu menunjukkan sifat-sifat general, external, dan coercion.
Esensi dari teori fungsionalisme struktural bahwa masyarakat itu merupakan sistem yang terdiri dari elemen-elemen, dimana semua elemen di dalam masyarakat itu mempunyai fungsi kontributif terhadap terpeliharanya equilibrium. Perubahan sosial dapat mengganggu keseimbangan sosial akan, tetapi tidak lama kemudian, terjadi keseimbangan baru. Sifat perubahan sosial menurut teori ini adalah evolusioner, tak pernah terjadi perubahan yang revolusioner. Suatu bentuk elemen-elemen sosial mungkin saja fungsional di masyarakat tertentu, tetapi tidak fungsional bagi masyarakat yang lainnya. Suatu fenomena akan muncul di dalam masyarakat selama dia fungsional, dan akan hilang dengan sendirinya apabila tidak fungsional lagi.
 
*Teori Interaksionisme Simbolik
 Teori interaksionisme simbolik adalah salah satu teori yang bernaung di dalam paradigma definisi sosial (social definition paradigm) Tokoh paradigma ini adalah Max Weber yang lebih memfokuskan perhatiannya pada proses pendefinisian realitas sosial, dan bagaimana orang mendefinisikan situasi, baik secara intrasubjektif maupun intersubjektif sehingga melahirkan tindakan-tindakan tertentu sebagai akibatnya. Perlu diingat bahwa Weber juga menegaskan bahwa manusia itu adalah makhluk yang kreatif dalam membentuk realitas sosial (dunianya sendiri).
Definisi situasi dapat mempengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan-tindakan manusia, dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negative.
Intrasubjectivity adalah interaksi dengan dirinya sendiri, antara I dengan Me. Interaksi ini juga dapat melahirkan tindakan-tindakan. Intersubjectivity adalah interaksi antara 2 atau lebih orang. Interaksi jenis ini dapat mempengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan manusia.
Manusia, baik anak-anak maupun orang dewasa merupakan makhluk yang kreatif, artinya dapat menciptakan realitas sosial atau dunianya sendiri. Manusia bertindak terhadap suatu benda ataupun fenomena atas dasar makna yang dimiliki oleh benda ataupun fenomena tersebut. Makna suatu benda atau fenomena itu tidak inherent melainkan merupakan hasil dari interaksi sosial manusia di dalam masyarakat.
Inti teori interaksionisme simbolik menurut Ritzer adalah
(1) kehidupan bermasyarakat itu terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antarindividu dan antarkelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar,
(2) Manusia bertindak bukan atas dasar stimulus respons melainkan melalui proses belajar,
(3) Sekalipun norma-norma, nilai-nilai sosial, dan makna-makna dari simbol membatasi tindakan manusia, namun dengan kemampuan berpikirnya manusia tetap memiliki kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan yang hendak dicapainya.
Dari sudut perspektif interaksionisme simbolik, media massa dengan informasi yang dibawanya itu dapat mengilhami pikiran anggota masyarakat untuk bersikap dan bertindak tertentu terhadap peristiwa atau fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. Kenapa demikian? Ya karena perspektif ini berpendapat bahwa manusia itu merupakan makhluk kreatif dan dapat menerjemahkan simbol-simbol yang diterimanya. Anggota masyarakat dapat memberi makna yang berbeda-beda ketika menyaksikan gambar-gambar di koran ataupun dari televisi yang menayangkan antrian sembako. Ada yang ketakutan, ada yang terharu dan menitikkan air mata. Ada yang geram terhadap pemerintah, terutama kepada menteri yang seharusnya bertanggung jawab terhadap terjadinya keadaan tersebut. Tetapi jangan lupa, ada banyak juga di antara anggota masyarakat yang tidak peduli terhadap kenyataan sosial ini, bahkan mungkin dapat ikut memanfaatkan situasi tersebut.

*Teori Pertukaran Sosial  
Paradigma perilaku sosial menekankan studinya pada bagaimana respons seseorang terhadap stimulus yang dihadapinya, selain itu menurut paradigma ini manusia itu adalah makhluk pengejar keuntungan
Lima bentuk dasar teori pertukaran sosial (social exchange) tercermin pada proposisi sukses, stimulus, nilai, deprivasi-satiasi, serta persetujuan dan perlawanan. Proposisi sukses menggambarkan bahwa tindakan manusia yang mendatangkan keuntungan atau kenikmatan cenderung akan diulang-ulang kembali oleh pelakunya. Proposisi stimulus menggambarkan bahwa orang akan cenderung melakukan hal/tindakan serupa dengan tindakan yang pernah dilakukan dan mendatangkan keuntungan/kenikmatan atau kelegaan. Proposisi nilai atau disebut juga dengan proposisi rasionalitas menggambarkan bahwa semakin bernilai suatu tindakan orang maka semakin besar kemungkinan tindakan tersebut akan diulang-ulang agar tindakan tersebut lebih bernilai. Proposisi deprivasi-satiasi mengandung pengertian bahwa semakin sering seseorang menerima ganjaran-ganjaran ynag istimewa maka ganjaran-ganjaran berikutnya semakin kurang bermakna karena terjadi kejenuhan. Proposisi persetujuan dan perlawanan mengandung pengertian sebagai berikut.
1. Jika tindakan seseorang tidak mendatangkan ganjaran (reward) sebagaimana dia harapkan atau sebaliknya, yaitu malah memperoleh hukuman yang tidak dia harapkan maka dia akan marah, melawan ataupun melakukan tindakan-tindakan agresif lainnya. Dan baginya, akibat yang timbul dari tindakan amarah atau tindakan brutal lainnya justru dianggap lebih berharga atau bermakna baginya, sekalipun sesungguhnya bisa merugikan.
2. Jika tindakan seseorang mendatangkan seperti yang dia harapkan atau bahkan lebih besar atau tidak mendatangkan hukuman sebagaimana dia duga dan harapkan maka dia akan merasa senang. Selanjutnya, semakin besar kemungkinan dia melakukan tindakan-tindakan, seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya. Dan tindakan tersebut dianggap sangat bernilai baginya.

Perspektif pertukaran sosial lebih banyak menggambarkan saling manfaat yang bisa diperoleh dalam hubungan antara media massa dengan masyarakat. Keuntungan atau saling manfaat yang diperoleh itu dapat bersifat materiil, tetapi bisa juga bersifat immateriel dan sosial, termasuk popularitas yang bisa diperoleh masing-masing (pihak media massa, dan pihak masyarakat).

Bagian 3: KOMUNIKASI MASSA   

*Mengenali Komunikasi Massa  
Dari sudut pandang sosiologi, dalam membahas komunikasi massa lebih ditekankan arti pentingnya proses keterlibatan para partisipan dari komunikasi itu sendiri, sedangkan para ahli komunikasi berpendapat yang dimaksud dengan komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi melalui media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa (mass media communication). Berbeda dengan pendapat para ahli psikologi sosial. Komunikasi massa itu tidak selalu menggunakan media massa. Bagi mereka (para ahli psikologi sosial), pidato di hadapan sejumlah orang banyak di sebuah lapangan, misalnya asal menunjukkan perilaku massa (mass behavior), itu dapat dikatakan sebagai komunikasi massa.
Sifat-sifat dari komunikasi massa meliputi sifat komunikator, sifat pesan, sifat media massa, sifat komunikan, sifat efek dan sifat umpan balik, sedangkan ciri-ciri komunikasi massa meliputi komunikasi massa berlangsung satu arah; komunikator pada komunikasi massa melembaga; pesan pada komunikasi massa bersifat umum; media komunikasi massa menimbulkan keserempakan; komunikan pada komunikasi massa bersifat heterogen.
Sesungguhnya ada banyak ahli yang mengungkapkan fungsi komunikasi massa dengan versinya masing-masing. Salah satunya adalah pendapat De Vito. Dia berpendapat bahwa popularitas dan pengaruh yang merasuk dari media massa hanya dapat dipertahankan apabila mereka menjalankan beragam fungsi pokok. Enam di antara fungsi yang paling penting yang dibahasnya, antara lain Fungsi menghibur, Fungsi meyakinkan yang terdiri dari mengukuhkan sikap, mengubah sikap, menggerakkan, dan menawarkan etika atau sistem nilai tertentu. Fungsi penting lainnya adalah menginformasikan, menganugerahkan status, fungsi membius, dan menciptakan rasa kebersatuan.
Fungsi lain dari komunikasi massa yang umumnya juga dipandang penting adalah fungsi surveillance atau pengawasan. Bagi masyarakat, fungsi ini, antara lain memberitahukan adanya bahaya atau bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, gunung meletus dan sebagainya. Komunikasi massa juga dapat meningkatkan status social anggota masyarakat karena mengetahui berbagai berita yang dimuatnya. Sementara itu, fungsi interpretasi dan preskripsi juga tak kalah pentingnya, terutama menyangkut berita-berita tentang kejadian yang dapat menimbulkan dampak negatif dan membahayakan masyarakat.

*Komunikasi massa dan Sosialisasi
Sosialisasi sangat penting artinya dalam mempersiapkan setiap individu anggota masyarakat agar dapat memahami peranan-peranan orang lain dan peranan dirinya bagi orang lain dalam kehidupan bermasyarakat.
Komunikasi massa ternyata juga merupakan salah satu sumber, sarana dan agen-agen sosialisasi bagi anggota masyarakat, tua maupun muda, baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Sejumlah bukti hasil penelitian menunjukkan bahwa media komunikasi massa, seperti televisi dan radio merupakan sumber-sumber normatif dan orang dapat belajar memecahkan berbagai persoalan karena media komunikasi massa tersebut.
Kelompok primer (keluarga) tetap merupakan agen sosialisasi yang dianggap lebih bisa dipercaya dibandingkan dengan media massa (misalnya nasihat-nasihat melalui acara radio atau televisi) terutama apabila terjadi perbedaan antara sejumlah orang tentang penilaian moral, nilai-nilai sosial dan sejenisnya.
Penelitian-penelitian sosiologis perihal pengaruh media massa terhadap sosialisasi haruslah dikembangkan, terutama untuk mengetahui adakah perbedaan antara sosialisasi melalui agen-agen primer secara langsung ataukah melalui komunikasi massa yang menyangkut bidang-bidang tertentu.

Bagian 4: FUNGSI DAN DAMPAK SOSIAL KOMUNIKASI MASSA 

*Fungsi Sosial Komunikasi Massa  
Fungsi sosial komunikasi massa antara lain tercermin pada fungsi informatif bagi masyarakat luas. Artinya, komunikasi massa menyediakan informasi tentang berbagai keadaan/peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat, baik itu dalam ruang lingkup lokal, nasional, maupun internasional. Fungsi ini juga mempermudah masyarakat melakukan adaptasi terhadap perkembangan, adopsi inovasi berbagai bidang kehidupan, termasuk proses dan dinamika pembangunan.
Fungsi sosial komunikasi massa juga tampak jelas sebagai pendidik masyarakat. Dalam hal ini komunikasi massa dapat menambah dan memperluas wawasan pengetahuan, sarat kemampuan berpikir kritis di kalangan masyarakat. Bahkan masyarakat didorong untuk dapat mandiri dalam setiap persoalan kehidupannya. Kesadaran untuk bergotong-royong dalam berbagai hal, termasuk dalam menciptakan keamanan dan kesejahteraan hidup bersama dengan lingkungannya disadari benar sebagai kebutuhan dalam hidupnya. Dalam fungsi mendidik ini, komunikasi massa bahkan tidak sekadar menyajikan pengetahuan, akan tetapi juga berbagai keterampilan praktis, apakah itu di bidang pertanian, kesehatan, perekonomian dan lain-lain.
Fungsi sosial lainnya dari komunikasi massa antara lain dapat meningkatkan empati dan integrasi masyarakat, bangsa dan negara. Peningkatan empati di kalangan masyarakat itu pada gilirannya dapat mereduksi prasangka negatif (prejudice) antarsuku bangsa. Citra-citra negatif antara satu suku dengan suku yang lain sebagai sesama anak bangsa yang majemuk ini secara bertahap akan terkikis. Dengan demikian, pada gilirannya akan menciptakan solidaritas dan integrasi nasional.
Komunikasi massa ternyata dapat juga berfungsi sebagai sarana transmisi budaya (pewarisan budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya) karena informasi-informasi yang dimuatnya dapat menyangkut norma-norma sosial, norma agama, serta nilai-nilai sosial yang dipandang luhur oleh suatu bangsa. Di samping itu sebagaimana telah disebut-sebut sebelumnya perihal fungsi sosial dari komunikasi massa, ternyata hal tersebut dapat juga menunjukkan fungsi peningkatan aktivitas politik bagi masyarakat luas atau mayoritas penduduk, misalnya saja kesadaran untuk berpartisipasi dalam pemilu.
 
*Dampak Komunikasi Massa dalam Kehidupan Masyarakat
 Dengan alat-alat (sarana) komunikasi, seperti televisi, teater-teater, buku-buku dan lain-lain maka pada gilirannya akan tampak perubahan-perubahan besar di dalam masyarakat. Perubahan itu terutama pada cara berpikir orang banyak dan pada apa yang dihargai oleh masyarakat (yaitu sesuatu yang dianggap bernilai oleh masyarakat). Mobilitas sosial menjadi tinggi, baik di sektor pekerjaan maupun perdagangan. Masyarakat di satu desa akan dengan mudah berhubungan dengan relasi-relasinya di desa-desa atau di kota yang lain. Secara singkat, pada gilirannya perubahan-perubahan besar tersebut mengarah pada apa yang biasa dinamakan modernisasi.
Banyak di antara negara-negara berkembang yang tidak sungguh-sungguh memperhatikan komunikasi pembangunan. Pertama proses pembangunan menuntut banyak hal sekaligus. Kedua, investasi dalam bidang komunikasi mempunyai akibat yang berbeda-beda dalam berbagai aspek proses pembangunan. Ketiga, investasi komunikasi bukanlah suatu hal yang terpisah-pisah. Keempat, pengambilan kebijakan harus dibuat mengenai berbagai aspek lain dari sistem komunikasi itu.
Dalam sistem komunikasi masyarakat yang paling maju pun senantiasa terjadi interaksi yang kompleks antara sistem media massa yang modern dengan jaringan komunikasi tradisional yang berupa komunikasi dari mulut ke mulut. Suatu masyarakat modern bukanlah suatu masyarakat massal yang tanpa norma dan tanpa hubungan pribadi yang terlepas dari kelompok-kelompok primer (primary groups). Masyarakat modern itu adalah suatu sistem yang terdiri dari keluarga-keluarga, perkumpulan-perkumpulan, suku bangsa-suku bangsa, kelas-kelas, organisasi-organisasi politik dan kelompok-kelompok persahabatan.
Di negara-negara berkembang pada umumnya merupakan masyarakat yang dualitas, di mana pengetahuan atau gambaran tentang hidup yang dimiliki penduduk kota dengan penduduk desa tidak sama. Di negara-negara maju, keadaan seperti ini tidak terjadi karena media komunikasi massa tersebar secara luas, baik di kota maupun di desa.
Media massa lebih cepat menimbulkan keinginan-keinginan yang baru daripada menimbulkan kemampuan untuk memenuhi atau mewujudkan keinginan-keinginan itu sendiri. Dengan demikian, suatu pengembangan media massa tidak boleh berdiri sendiri, dia haruslah merupakan bagian dari rencana pembangunan yang menyeluruh.
Perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih dan pesat luar biasa ini semakin sulit diramalkan dampaknya secara eksplisit di masa-masa yang akan datang. Yang dapat dipahami bahwa di antara masyarakat ada yang memberikan respons positif, akan tetapi juga terdapat yang merespons negatif dan penuh kekhawatiran.


Bagian 5: KOMUNIKASI PERSONAL DAN KHALAYAK MASSA   

*Komunikasi Personal  
Dari sudut aktivitasnya, komunikasi antarmanusia itu melalui beberapa-tahap, yaitu tahap intrapribadi (intrapersonal communication), kemudian tahap komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), dan group communication.
Intrapersonal communication adalah komunikasi dengan dirinya sendiri. Ini merupakan cara di mana individu mengolah informasi atas dasar pengalaman hidup mereka sendiri. Oleh karena itu, komunikasi akan mengalami hambatan/kendala yang serius apabila yang melakukan komunikasi itu memiliki pengalaman hidup yang sangat berbeda. Ada yang mengatakan bahwa intrapersonal communication itu tidak lain adalah proses berpikir yang terjadi pada diri seseorang sebelum mengambil keputusan untuk menerima atau menolak stimulus yang dihadapinya.
Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) sering dilakukan secara tatap muka (face to face) . Oleh karena itu, bahasa/kata-kata merupakan sarana utamanya. Sekalipun demikian, penggunaan secara kombinasi dan sekaligus antara berbagai simbol-simbol lainnya, seperti gerakan tangan, ekspresi wajah dan sebagainya tentulah lebih positif karena dapat lebih mempertegas makna informasi dalam komunikasi yang sedang dilakukan.
Dalam definisi komunikasi antarpribadi berdasarkan komponen, kita dapat melakukan identifikasi komponen-komponen utama dari komunikasi antarpribadi tersebut, sementara dalam definisi berdasarkan hubungan atau diadik, komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung antara 2 orang yang mempunyai hubungan yang jelas; dalam definisi berdasarkan pengembangan, komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai suatu perkembangan atau kemajuan dari komunikasi tak-pribadi pada satu ekstrem ke komunikasi pribadi di ekstrem yang lain.
Komunikasi antarpribadi dibedakan dari jenis komunikasi yang lain karena (1) prediksi lebih didasarkan atas data psikologis ketimbang data sosiologi; (2) prediksi didasarkan atas pengetahuan yang menjelaskan (explanatory knowledge) tentang satu sama lain; dan (3) perilaku didasarkan pada aturan-aturan yang ditetapkan secara pribadi. Hubungan antarpribadi terbina melalui tahap-tahap. Setidak-tidaknya ada lima tahap kontak, keterlibatan, keakraban, perusakan, dan pemutusan. Sementara itu daya tarik antarpribadi bergantung pada sedikitnya lima faktor, yaitu: daya tarik (fisik dan kepribadian); kedekatan; pengukuhan; kesamaan; dan komplementaritas.
Group communication adalah komunikasi antara seseorang dengan sejumlah orang yang berkumpul bersama-sama dalam bentuk kelompok. Kelompok ini bisa kecil, tetapi bisa juga besar. Besar-kecilnya jumlah anggota komunikasi kelompok ini tidak dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menyebut besar-kecilnya komunikasi kelompok. Yang jelas, smal group communication (komunikasi kelompok kecil) itu bersifat lebih rasional, face to face, kohesinya lebih kuat, dan terjadi solidaritas yang dinamis. Komunikasi pada kelompok kecil ini menguntungkan karena tanggapan para komunikan terhadap komunikator dapat langsung saat itu (bersifat dialogis).
Large group communication tidak lain adalah kelompok komunikan yang jumlahnya banyak/besar. Komunikan hampir-hampir tak punya peluang untuk memberi respons verbal kepada komunikator. Jadi, situasi dialogis tidak ada. Pada large group communication ini sering kali terjadi contagion mentale atau biasa disebut dengan wabah mental. Misalnya saja, ada salah seorang bertepuk tangan maka dengan segera akan diikuti oleh yang lain, demikian pula apabila seseorang mengucapkan yell-yell tertentu maka akan segera diikuti yang lain pula. Itulah sebabnya orang-orang di dalam komunikasi kelompok besar ini sering kali mengalami regresi intelektualita, tetapi emosinya menaik. Jangan heran kalau di dalam large group communication ini mudah untuk digerakkan sesuai dengan keinginan komunikator (mungkin positif, akan tetapi mungkin juga negatif).
 
*Komunikasi Informal dan Khalayak Massa  
Pengakuan sosiologi pertama tentang arti pentingnya individu dalam menjembatani media massa dengan publik pada umumnya adalah merupakan bagian dari penelitian (studi perintis) mengenai perilaku memilih yang dilakukan oleh Lazarsfeld dan kawan-kawannya selama kampanye presiden tahun 1940. Dalam penelitian ini Lazarsfeld memperkenalkan sebuah metode penelitian baru yang dinamakan panel technique.
Reinforcement effect dapat juga dipahami dalam hubungannya dengan homogenitas politis kelompok-kelompok sosial. Hasil penelitian telah menunjukkan berulangkali bahwa orang-orang telah memilih "secara kelompok", artinya bahwa orang-orang yang berada dalam gereja, keluarga, klub-klub sosial dan kelompok kelembagaan yang sama cenderung untuk memilih atau memberikan suara yang sama.
Charles R. Wright menegaskan bahwa dalam bentuknya yang lebih umum kata pemuka pendapat menunjukkan individu-individu yang melalui kontak-kontak personalnya sehari-hari, mempengaruhi orang lain dalam pembentukan keputusan dan pendapat. Pemuka pendapat tidak perlu merupakan pemimpin-pemimpin formal suatu masyarakat atau orang-orang yang memegang jabatan tertentu berdasarkan prestise sosial.
Robert K. Merton melalui penelitiannya telah menemukan adanya pemuka pendapat sebagai local influentials (tokoh lokal) dan cosmopolitan influentials (tokoh kosmopolitan) dalam mempengaruhi perilaku anggota masyarakat. Antara local influentials dengan cosmopolitan influentials menunjukkan perilaku komunikasi yang berbeda.
Media massa yang dapat menjangkau khalayak yang lebih luas tidak dapat secara otomatis dinyatakan memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan komunikasi lainnya. Sangat dimungkinkan bentuk komunikasi lainnya yang hanya memiliki jangkauan yang kecil justru memiliki pengaruh yang lebih besar daripada media massa dalam mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan.
Dalam perspektif sosiologi, kepemimpinan pendapat bukanlah sifat individu, seperti ciri kepribadian, tetapi merupakan suatu tindakan sosial (social act) atau serangkaian tindakan yang melibatkan interaksi antara dua orang individu atau lebih. Minat sosiologi berfokus pada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Pada kondisi-kondisi apakah interaksi itu cenderung terjadi, sifat interaksi, keteraturan dalam karakteristik sosial dari orang-orang yang cenderung memainkan peranan sebagai pemuka pendapat pada berbagai macam persoalan di dalam kondisi-kondisi yang berlainan dan perilaku komunikasi serta aktivitas-aktivitas lain dari orang yang memainkan peranan sebagai pemuka pendapat atau sebagai pengikut mengenai beberapa topik dan masih banyak lagi yang lain.
 
Bagian 6: KOMUNIKASI DAN PEMBANGUNAN 

*Mitos Komunikasi dalam Pembangunan  
Masih banyak orang terkecoh antara realitas dengan mitos mengenai hubungan antara komunikasi massa dengan perilaku menyimpang, misalnya peristiwa perkosaan atau pembunuhan yang terjadi di dalam masyarakat adalah karena pengaruh media massa, misalnya televisi, film-film di gedung bioskop, VCD dan sebagainya. Sementara itu, sejumlah kalangan terbatas, misalnya para ilmuwan tidak berani dengan serta-merta menganggap bahwa tayangan televisi, VCD atau bioskop dan sejenisnya adalah biang dari terjadinya perilaku menyimpang itu. Jangan-jangan memang dua-duanya itu antara realitas dan mitos terjadi di dalam masyarakat.
Mitos komunikasi yang dikemukakan oleh Gonzales meliputi mitos tentang sistem sumber, pesan, saluran, segmen khalayak dalam sistem pemakai, efek dan mitos tentang alternatif pembangunan
Mitos tentang sistem sumber antara lain mitos tentang yang baru itu lebih baik, mengatakan "tidak" itu salah, pendidikan lebih tinggi berarti keahlian lebih tinggi, hanya ilmuwan yang dapat melakukan riset, kasus yang berhasil dapat dijadikan model yang baik. Mitos tentang pesan berkaitan dengan mitos tentang informasi saja cukup untuk menyokong pembangunan, isi media massa sama dengan efeknya, media exposure sama dengan efek, suatu inovasi yang baik akan laku dengan sendirinya.
Mitos tentang saluran meliputi mitos tentang media yang lebih besar akan memberikan hasil yang lebih baik, kampanye informasi publik adalah kampanye media massa, ada satu medium yang paling baik kerjanya untuk segala macam penggunaan, teknologi komunikasi itu netral. Berikutnya adalah mitos tentang segmen khalayak dalam sistem pemakai, yang berisi tentang : target khalayak kita adalah masyarakat umum, pengadopsi inovasi yang pertama adalah model yang baik untuk dijadikan contoh, keputusan dibuat pada tingkat individu, individulah yang harus disalahkan untuk masalah yang dihadapinya, mendengarkan tidaklah sepenting, seperti berbicara kepada khalayak Anda.
Selanjutnya, mitos tentang efek yang meliputi mitos tentang perbedaan dalam pengetahuan, sikap dan perilaku di antara kelompok-kelompok sosial ekonomi yang berbeda tak dapat dihindari dalam program-program pembangunan, beri perlakuan yang sama pada setiap orang dalam pembangunan. Mitos tentang alternatif pembangunan antara lain tentang masyarakat yang modern adalah masyarakat yang hidup menurut cara barat, untuk menjadi modern, seseorang harus disosialisasikan ke dalam kepercayaan dan sikap tertentu, tahap-tahap pembangunan tak dapat diulangi kembali, kita selalu mengerjakan seperti ini.
 
*Komunikasi dan Pembangunan  
Menurut Roucek dan Warren, komunikasi itu adalah suatu proses pemindahan atau pengoperan fakta-fakta, keyakinan-keyakinan sikap, reaksi-reaksi emosional, serta berbagai bentuk kesadaran manusia. Senada dengan pendapat Roucek & Warren ini adalah pendapatnya Cherry, yang menegaskan bahwa komunikasi adalah suatu proses di mana pihak-pihak peserta saling menggunakan informasi, dengan tujuan mencapai pengertian bersama yang lebih baik mengenai masalah yang penting bagi semua pihak yang bersangkutan. Proses ini, dan kaitan hubungan yang ada di antara peserta dalam proses, kita sebut komunikasi. Komunikasi bukan merupakan jawabannya itu sendiri, tetapi pada hakikatnya merupakan kaitan hubungan yang ditimbulkan oleh penerusan rangsangan dan pembangkitan balasannya.
Pengertian dari pembangunan mengacu proses perubahan yang dengan sadar ditujukan untuk meningkatkan taraf dan kualitas hidup masyarakat. Jadi, dengan formulasi apa pun pembangunan dirumuskan, sebenarnya esensinya tidak lain adalah dalam rangka meningkatkan taraf dan kualitas hidup individu dan masyarakat, baik secara lahiriah maupun batiniah.
Everett M. Rogers mengatakan, secara sederhana pembangunan adalah perubahan yang berguna menuju suatu sistem sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak dari suatu bangsa (Rogers, 1985: 2). Sementara itu Hedebro Goran mengatakan bahwa pembangunan tidak lain adalah proses perubahan untuk meningkatkan kondisi-kondisi hidup. Namun, yang perlu dipahami di sini bahwa yang dimaksud dengan proses perubahan itu tidak semata-mata dan sekadar untuk menunjukkan proses perubahan belaka, melainkan harus juga digambarkan secara jelas tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari proses perubahan itu sendiri. Jadi, tujuan itu penting bagi proses perubahan yang namanya pembangunan.
Bryant dan White menyatakan bahwa terdapat empat aspek yang terkandung di dalam pembangunan kualitas manusia sebagai upaya meningkatkan kapasitas mereka. Pertama, pembangunan harus memberikan penekanan pada kapasitas (capacity), kepada apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan tersebut serta energi yang diperlukan untuk itu. Kedua, pembangunan harus menekankan pemerataan (equity). Ketiga, pembangunan mengandung arti pemberian kuasa dan wewenang (empowerment) yang lebih besar kepada rakyat. Keempat, pembangunan mengandung pengertian berkelangsungan atau berkelanjutan (sustainable) dan interdependensi di antara negara-negara di dunia. 

Bagian 7: BUDAYA KEMASAN MEDIA DAN PEMISKINAN IMAJINASI SOSIAL 

*Industri Budaya Kemasan Media
Iklan, bukanlah sekadar karya artistik yang netral melainkan juga mengandung ideologi pasar kapitalis, yang sering kali juga “kotor”. Iklan telah berkembang sebagai fenomena sosial budaya dalam masyarakat massa yang mengandalkan penyebarannya melalui media massa. Periklanan komersial telah membawa pencitraan (imagery) pada budaya pop dan pembentukan identitas individu maupun sosial. Melalui iklan, jenis atau merek barang tertentu dapat disulap menjadi tanda (sign) sehingga pemiliknya memperoleh citra tertentu. Iklan memang membentuk dan mengukuhkan cita rasa budaya masyarakat, menentukan simbol status kelas sosial di dalam masyarakat. Oleh karena itu, biasanya iklan menggunakan bahasa atau sign yang sugestif, agitatif, sloganistis bahkan kadang bombastis.
Menurut Umberto Eco, semiotik adalah suatu disiplin ilmu yang pada prinsipnya mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, dan mengecoh. Itu berarti bahwa iklan juga dapat dikaji. Dengan “teori dusta” (teorinya semiotik), fenomena iklan sebagai manifestasi pertukaran komoditas atau perdagangan dapat dipahami sebagai kekuatan ideologi pasar yang terus menerus memanipulasi cita rasa konsumen.
Para penganjur teori kritis (kritikus media) mengkhawatirkan bukan sekadar pengaruh TV sebagai penyebar pola hidup konsumtif bagi anak-anak, melainkan yang perlu lebih dikhawatirkan adalah bagaimana implikasi iklan pada pergeseran di level kesadaran dan kapasitas imajinasi anak dalam memandang dunia rekaan media dan dunia sebagai realitas yang sesungguhnya.
Menurut Berger, manusia modern tenggelam dan hanyut daam “semesta simbolik kemodernan”. Oleh karena itu, manusia modern secara mendadak tenggelam kembali dalam kegalauan iklan-iklan yang terus menerus didendangkan melalui media massa. Media menjadi wahana bagi percepatan pertukaran mode dan komoditas. Sementara itu kapasitas media sebagai aparatur teknologi telah ikut menciptakan keretakan yang tajam dalam emosi kita, di mana melalui sebaran produksi massa iklan, media telah berperan dalam membiakkan anomie dan alienasi ke dalam alam kesadaran kita.
Salah satu rembesan kapitalisme yang paling telanjang (vulgar) adalah bagaimana pasar iklan mencitrakan kawula muda masa kini. Iklan bagi produk kecantikan kawula muda membangkitkan sebuah dunia mitos-diri yang dikaruniai dengan kekuatan magis yang baru ditemukan. Dengan daya simbolik dan kapasitas persuasifnya, iklan telah menjadi semacam kekuatan magis yang terus memicu citarasa (taste) kawula muda untuk bertindak, bukan saja berdasarkan kepuasan pribadi, namun lebih berdasarkan “nilai” yang mereka bayangkan dan harapkan.
iklan dengan pesan komersialnya, yang secara terus-menerus membombardemen pikiran kita maka sangat mungkin iklan memang telah memiskinkan imajinasi kita, terutama kawula muda yang sedang galau mencari jati dirinya. Yang perlu dilakukan adalah melakukan “revolusi konsumen”, bukan dengan cara memusuhi perusahaan atau pengiklan, melainkan memberikan perlawanan yang tegas terhadap metode-metode periklanan yang manipulatif pada masa kini. Selain itu perlu melakukan “revolusi kesadaran” pada level individu. Jernihkan kesadaran kita. Kesadaran yang harus kita bangun bahwa iklan tela tampil, seperti “pabrik mimpi” dan “industri kesadaran” yang terus merongrong batin kita di tengah kegelisahan dan kegembiraan dalam mengarungi hidup.

*Media Massa dan Pemiskinan Imajinasi Sosial  
Menurut Gorge Gerbner, media massa benar-benar telah menjadi “agama resmi” masyarakat industri. Dan dia telah memberi andil dalam memoles kenyataan sosial. Sementara itu McLuhan mengatakan bahwa media telah ikut mempengaruhi perubahan bentuk masyarakat. Media tidak hanya memenuhi kebutuhan manusia akan informasi dan hiburan, tetapi juga ilusi atau fantasi yang mungkin belum pernah terpenuhi melalui saluran-saluran komunikasi tradisional lainnya.
Media massa bersifat ambigu, dapat membawa manfaat, tetapi sekaligus dapat juga menimbulkan petaka bagi masyarakat. Dapat menghibur dan membawa inovasi, tetapi sekaligus dapat menumpulkan imajinasi, kepekaan moral dan sensibilitas akal budi serta kehalusan intuitif.
Televisi sebagai “agama” juga memiliki preferensi nilai tersendiri, nilai terpentingnya adalah komersial dan daya hidupnya adalah pasar. Televisi telah menjadi perpanjangan gurita kapitalisme.
Wajah industrialisasi media disinyalemen telah berperan dalam mengalirkan desakralisasi, dipolitisasi, dihumanisasi, yang terus meresapi relung-relung jiwa masyarakat massa.
Media dapat muncul sebagai ancaman apabila logika pesan media tunduk kepada sekelompok orang yang disinyalemen akan mendistorsi bahasa atau pesan media untuk mengendalikan pikiran khalayak dalam memahami realitas. Dengan beban-beban ideologis tadi, realitas yang tampil di media acap kali bukan menggambarkan autentisitas dunia, tapi justru realitas yang telah terdistorsi alias kepalsuan.
Hans Magnus Enzensberger yang memperkenalkan istilah industrialisasi pikiran mengatakan bahwa media akhirnya tidak lebih dari tool of the mind-making industry, suatu proses berdasa-muka yang ditandai makin meningkatnya cara hidup yang diawasi dengan amat ketat dan eksploitasi pikiran manusia atau yang oleh Enzersberger sebagai immaterial exploitation.
Media massa (di Indonesia) merupakan tampilan sosok yang retak karena apa yang direkam adalah masyarakat yang juga telah mengalami “keretakan mental”. Contohnya banyak, misalnya saja masyarakat telah mengajukan kritik yang pedas terhadap materialisme, tetapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme dan hedonisme semakin menguat dan seolah menjadi ekspresi sukses dan bahkan modus eksistensi pergaulan. Masyarakat amat merindukan kebebasan individual dan tercapainya perjuangan HAM, namun pada saat yang sama mereka yang menganggap dirinya sebagai pejuang HAM justru tak jarang mencerminkan sikap dan ucapan orang yang dijadikan sasaran kritik tersebut. Media, dengan demikian tidak hanya menjadi saluran ampuh untuk melihat paradoks atau konflik “bahasa” masyarakat, tetapi media adalah paradoks itu sendiri.
Guna menangkal pengaruh-pengaruh negatif yang dibawa oleh media dari dunia internasional ada beberapa cara yang dapat ditempuh: Paulo Freire da Ivan Illich untuk memilih media alternatif sebagai counter terhadap media “besar” tersebut. Maka, yang ditawarkannya adalah semacam pendayagunaan terhadap “media rakyat” (teater rakyat, folk music, dan sebagainya). Sementara itu Majid Tehranian menganjurkan alternatif jaringan komunikasi tradisional, seperti pendayagunaan masjid, majelis taklim, dan jaringan ulama. Atau juga bisa lewat pemanfaatan “media kecil” seperti kaset, leaflet, fotocopy dan lain-lain yang konon terbukti amat membantu sukses revolusi Islam di Iran. Sekalipun demikian, jalan yang paling memungkinkan/mudah adalah kemampuan bersikap selektif atas pesan-pesan media. Modalnya adalah kematangan intelektualitas dan kedewasaan mental khalayak.

 
Bagian 8: GLOBALISASI : PERDEBATAN AKADEMIK DAN VIRUS SOSIAL   

*Perdebatan Akademik tentang Globalisasi  
Meskipun globalisasi ramai digunjingkan diberbagai kalangan dewasa ini, baik di kalangan politisi, para ekonom, birokrat maupun kalangan akademisi akan tetapi tak ada definisi yang dianggap paling mewadahi. Banyak yang terlalu menyederhanakan, tetapi banyak pula yang membesar-besarkannya. Bahkan ada yang menganggap bahwa globalisasi itu sesungguhnya tidak ada.
Dalam debat akademik ini Steger memperkenalkan berbagai pendekatan yang paling dominan mengenai persoalan globalisasi ini. Pendekatan-pendekatan tersebut banyak ragamnya, mulai dari pendapat bahwa globalisasi tak lebih dari sekadar globaloney, sampai penafsiran globalisasi sebagai proses kultural, politik atau ekonomi. Steger juga menegaskan, sekalipun perspektif analitik semacam ini sangat diperlukan untuk memahami globalisasi, namun ia memandang bahwa pendekatan keilmuan tersebut perlu dibarengi dengan eksplorasi tentang ideasional dan normatif dalam globalisasi.
Kalangan akademisi yang tergolong dalam globaloney tersebut dapat dipilah menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama menolak kegunaan globalisasi sebagai konsep analitis yang tepat. Kelompok kedua menunjuk pada terbatasnya proses globalisasi, sembari menekankan bahwa dunia tidak benar-benar terintegrasi, seperti yang diyakini oleh para pendukung globalisasi. Kelompok kritikus yang ketiga membantah kebaruan proses globalisasi tersebut kendati mengakui adanya kecenderungan globalisasi pada tingkat yang moderat.
Globalisasi sebagai proses ekonomi, menekankan globalisasi sebagai dimensi ekonomi karena dipicu oleh perkembangan historisnya sebagai subjek studi akademis. Globalisasi sebagai proses politik menurut sekelompok intelektual terkemuka bahwa globalisasi politik sebagai proses yang secara intrinsik berkaitan dengan ekspansi pasar, sedangkan globalisasi sebagai proses kultural menekankan pentingnya kultur dalam perdebatan kontemporer mengenai globalisasi. Seperti yang diungkapkan oleh sosiolog John Tomlinson bahwa globalisasi berada di jantung kultur modern, sementara itu praktik-praktik kultural berada di jantung globalisasi. Sebenarnya ada banyak yang diungkapkan oleh para pemikir globalisasi kultural ini, namun salah satu dan sangat penting yang mereka kemukakan adalah Apakah globalisasi meningkatkan homogenitas kultural atau apakah ia akan mengarah pada perbedaan dan heterogenitas yang lebih beragam? Secara sederhananya, apakah globalisasi itu menjadikan orang semakin sama atau semakin berbeda ?
 
*Globalisasi Informasi dan Virus Sosial  
 Bagi sementara kalangan, era globalisasi ekonomi dan informasi ini, pembicaraan umumnya berkisar mengenai lenyapnya batas-batas teritorial, batas-batas negara dan bangsa, batas-batas kesukuan dan kepercayaan, batas-batas politik dan kebudayaan, yang pada waktu lalu dianggap sebagai hambatan dalam interaksi global. Oleh karena semua batas-batasnya lenyap maka yang terjadi adalah transparansi hampir di semua bidang, seperti jaringan transparansi informasi, transparansi komunikasi, transparansi ekonomi, juga transparansi seksual.
Ketika batas antara satu unsur dengan lainnya hilang maka muncullah apa yang dinamakan orbitasi. Melalui orbitasi televisi maka informasi, tontonan, hiburan, kesenangan berputar dari satu stasiun ke stasiun lainnya, dari satu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya. Melalui orbitasi ekonomi maka kapital, barang, bunga, utang luar negeri berputar dari satu negara ke negara lainnya, dari satu bank ke bank yang lain. Sementara itu dengan orbitasi politik maka teror, kekerasan, intimidasi berpindah dari satu bangsa ke bangsa yang lain, dari satu mafia ke mafia yang lainnya. Orbitasi ekstasi melahirkan fantasi, halusinasi, ilusi yang berpindah dari satu sub kultur ke sub kultur yang lain, dari satu diskotek ke diskotek lainnya. Dengan orbitasi seksual,maka kecabulan, kegairahan, progografi menjalar dari satu pusat hiburan ke pusat hiburan lainnya, dari satu lokalisasi ke lokasisasi lainnya, dari satu video ke video lainnya. Dan jangan lupa bahwa di dalam orbitasi itulah maka lahir anonimitas aktor, yaitu aktor yang tak dikenal identitasnya.
Di dalam era globalisasi informasi sekarang ini, pandangan citra diri masyarakat kontemporer kita telah berubah jika dibanding dengan pandangan dunia para leluhur kita. Anak-anak muda sekarang terbiasa sekadar melihat objek dan citraan semata-mata, tanpa mampu melihat makna yang tersembunyi di balik objek dan pencitraan tersebut. Padahal, citraannya mengaburkan kapasitas kita bagi pembentukan eksistensi yang otentik, subjektivitas yang benar terhadap diri kita sendiri.
Menurut Baudrillard, virus HIV itu berkembang sebagai akibat orbit seksual yang terbuka buat siapa saja (integrated, sexual circuit) yang memungkinkan hubungan seks dengan siapa saja dan yang membentuk reaksi berantai dalam skala global. Secara metafora dapat dikatakan bahwa serangan virus HIV adalah patologi hubungan-hubungan seksual yang melampaui dan tidak mengindahkan tabu, larangan, pantangan, dan adat.
Bagi Baudrillard, liberalisasi juga menyusupkan virus mental yang disebutnya sebagai virus pemangsa (predator), yakni suatu dorongan dari dalam diri untuk memangsa apa saja demi keberlangsungan sistem. Kapitalisme global juga memangsa apa saja. Artinya, menjadikan komoditi apa saja, mulai dari hiburan, olah raga, pendidikan, informasi, kesehatan hingga kebugaran, kepribadian, penampilan; mulai dari tubuh, pikiran, kekuasaan hingga ilusi, halusinasi dan fantasi demi keberlangsungan perputaran kapital demi menggelembungnya kapital.
Apa yang mewarnai perkembangan ekonomi, politik, informasi, media, seksual di dalam era globalisasi sekarang ini bahwa semuanya telah bertumbuh ke arah bentuk fraktal – ke arah perkembangbiakan dan pelipatgandaan yang tanpa batas, tanpa kendali, tanpa tujuan yang pasti. Setiap diskursus berlomba-lomba menggali segala potensinya, mengeksploitasi segala sumber dayanya, men-diversifikasi segala kemungkinan produknya, seolah-olah tidak ada batas baginya.

Bagian 9: GLOBALISASI: FANTASMAGORIA HIPERKOMODITI DAN ANAK KANDUNG KAPITALISME 

*Kapitalisme dan Hiperkomoditi  
Wacana ekonomi global--yang dikendalikan oleh sistem kapitalisme lanjut--menjadi sebuah arena sirkuit tempat perlombaan ke¬cepatan, persaingan, kepanikan, dan kegilaan dipertunjukkan. Wacana komunikasi global yang dikendalikan oleh sistem komunikasi digital (cyberspace) menjadi sebuah panggung tempat ekstasi komunikasi, kegilaan fantasi, dan bom informasi dipertontonkan. Sementara itu, wacana budaya global yang dikuasai oleh nilai-nilai budaya Amerika menjadi sebuah ruang display tempat ketelanjangan, kegairahan, dan ketidakacuhan dipamerkan, sedangkan wacana pendidikan global yang dikuasai oleh kebutuhan pasar dan komoditi menjadi sebuah ruang kelas tempat ke¬cerdasan, keterampilan, dan kreativitas dikomodifikasikan. Dan wacana hiburan global yang dikuasai oleh jaringan televisi global¬ menjadi sebuah "ruang" tempat berbagai kedangkalan, keremeh-¬temehan (banality), dan kerendahan hasrat dipertontonkan.
Pasar konvensional sebagai sebuah arena jual-beli atau transaksi barang dan jasa men¬jelang abad ke-21 berubah wujud menjadi superpasar atau hipermarket (hypermarket), yaitu pasar yang melampaui pengertian pasar yang konvensional.
Hipermarket adalah bentuk sosialisasi masa depan yang dikendalikan dari atas oleh para elite, yang di dalamnya di¬konstruksi durasi ruang-waktu, tempat lalu lintas tidak saja barang dan jasa, tetapi juga tubuh, hasrat, dan libido; tempat lalu lintas kehidupan sosial (kerja, waktu senggang makanan, kesehatan, transportasi, hiburan, media, kebudayaan); tempat bertemunya segala bentuk kontradiksi sosial; ruang waktu bagi beroperasinya segala bentuk simulacrum kehidupan sosial; tempat bertemunya segala struktur dan lalu lintas kehidupan.
Hipermarket merupakan pusat bagi kloning kebudayaan, yaitu reproduksi secara sempurna kebudayaan pragmatis Amerika, yang dikembangbiakkan dan disebarluaskan secara global. Hipermarket menciptakan semacam penyeragaman budaya, ketimbang penganekaragaman budaya, ia adalah keanekaragaman di dalam keseragaman. Ia menciptakan se¬macam McDonaldisasi kebudayaan.
Kapitalisme global yang memberi peluang bagi produksi dan reproduksi objek-objek dalam skala global beserta segala muatan tanda dan makna kulturalnya-memberi peluang pula bagi pengkopian dan perbanyakan kebudayaan oleh kebudayaan lainnya, inilah kloning kebudayaan.
Panik adalah satu bentuk ketegangan yang disebabkan oleh teror (teror kecepatan, teror kekacauan) yang menyebab¬kan tidak dapat di organisasinya diri seseorang dengan normal. Tindakan panik adalah tindakan yang dilakukan secara cepat dan terkadang spontan, tanpa memikirkan makna atau arah tujuan tindakan tersebut. Oleh karena itu, ia adalah bentuk ekstasi, sebab dalam kondisi panik satu tindakan berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya dalam kecepatan tinggi, tanpa terpaut pada satu sistem makna, oleh karena makna telah terserap di dalam kecepatan perubahan itu sendiri.
Selain kondisi panik, kebudayaan abad ke-21 juga ditandai oleh kondisi histeria. Histeria adalah ekses dari emosi yang tidak dapat dikendalikan. Histeria abad ke- 21 adalah histeria com¬puter game, yang membawa pada kegembiraan puncak, tetapi juga kegamangan dan ketegangan yang mengguncang emosi: simulasi ruang, remote control, lenyapnya ruang-waktu nyata di dalam ruang-waktu virtual dan digital, yang membawa umat manusia-bersama emosinya-tanpa arah tujuan. Ruang vir¬tual computer game atau play station adalah ruang tempat berlangsungnya perlombaan yang tanpa akhir dengan kecepat¬an, kesigapan, kepandaian; berpacu dengan skor, statistik, dan akumulasi poin-poin. Akan tetapi, ke manakah manusia akan digiring terhadap semua ini?
 
*Globalisasi: Anak Kandung Kapitalisme  
Anthony Giddens, dalam bukunya Runaway World, memetakan para pengkaji globalisasi ke dalam 2 kelompok. Pertama, kaum skeptis, yang berpendapat semua hal yang dibicarakan mengenai globalisasi hanyalah omong kosong. Apa pun manfaat, cobaan, dan kesengsaraan yang ditimbulkannya, ekonomi global tidak begitu berbeda dengan yang pernah ada pada periode sebelumnya. Secara politik, kaum skeptis ini menurut Giddens, cenderung berada di aliran kiri politik, khususnya kiri lama. Kelompok kedua, disebutnya sebagai kaum radikal yang secara politik berada di sebelah kanan. Bagi kaum radikal, globalisasi tidak hanya sangat riil di mana pasar global jauh lebih berkembang bahkan bila dibandingkan dengan tahun 1960-an dan 1970-an, serta mengabaikan batas-batas negara.
Bagi Giddens, globalisasi bukan sekadar soal apa yang ada di luar sana, terpisah, dan jauh dari orang per-orang. Ia juga merupakan fenomena “ di sini”, yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan kita yang intim dan pribadi. Giddens mengingatkan kita agar memahami globalisasi tak melulu sebagai persoalan ekonomi, tetapi menyangkut juga persoalan politik, sosial, dan budaya.
Petras berpendapat, argumen bahwa globalisasi adalah hasil dari logika kapitalisme (logic of capitalism) merupakan argumen yang ahistoris dan asosial. Ide ini sangat abstrak: pertama karena teori ini mengaburkan peran begitu banyak aktor (pemilik modal yang berbeda-beda, peranan dari jutaan kaum buruh, dsb), dan begitu banyak negara yang mencoba mengintervensi dan mempertajam gerak modal. Kedua, teori ini tidak mampu menjelaskan periode involusi modal ataupun krisis yang menyebabkan modal harus lari ke luar negeri atau kembali ke pasar lokal. Ketiga, teori ini gagal menjelaskan perbedaan tingkat modal yang masuk ke perekonomian dunia pada waktu yang berbeda-beda.
Tiga fase perkembangan globalisasi menurut James Petras: fase pertama dimulai sejak abad ke-15 seiring dengan pertumbuhan bersama kapitalisme dan ekspansi mereka ke luar negeri, penaklukan sebuah negeri ataupun penghisapan atas Asia, Afrika, dan Amerika Latin serta pendudukan bangsa kulit putih atas tanah di Amerika Utara dan Australia. Dengan demikian globalisasi pada awal mulanya tidak dapat dilepaskan dari imperialisme: pilar utamanya dibangun di atas akumulasi modal kaum kapitalis Eropa yang dicapai dengan mengisap Dunia Ketiga. Fase kedua globalisasi dibangun pada era imperial trade (perdagangan antarkaum imperialis). Perdagangan antarnegara di Eropa, dan selanjutnya dengan Amerika (sekarang melibatkan Jepang) telah melibatkan serangkaian kerja sama lokal dalam satu kawasan untuk mendukung kekuatan dominan dalam kawasan tersebut. Dalam konteks ini globalisasi telah memperlihatkan kompetisi dan kolaborasi: perjuangan antara perusahaan multinasional di satu negara untuk merebut sebuah pasar dan juga kolaborasi antar mereka sendiri untuk mengeksploitasi pasar tersebut. Pada fase ini motif mencari keuntungan telah semakin nyata, semakin jelas. Pada fase ketiga, globalisasi masuk ke dalam fase international trade. Perdagangan internasional atas komoditas dan jaringan pasar global maupun regional telah memberikan karakter kelas dalam globalisasi. Artinya, globalisasi telah menjadi arena konflik kelas dan konflik-konflik perdagangan. Pada fase ketiga ini, agen utama dari globalisasi adalah perusahaan-perusahaan multinasional, yang telah menggantikan peran perusahaan dagang di masa sebelumnya dalam mengeksploitasi dan mengisap sumber daya alam dan tenaga kerja murah di Dunia Ketiga.
Dari penggambaran historis menjadi jelas bahwa globalisasi bukan sebuah fenomena ekonomi yang baru, bukan hasil penemuan teknologi komunikasi modern, melainkan hasil dari proses evolusi dalam sistem kapitalisme untuk menjawab berbagai krisis yang menimpanya.
Teori ekonomi klasik merupakan refleksi dari kepentingan kelas pemilik modal berhadapan dengan kepentingan kelas pekerja. Kekalahan kelas pekerja berarti pertumbuhan ekonomi bekerja menurut logika-logika kelas dominan, yakni logika akumulasi kapital. Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh angka-angka pertumbuhan yang tinggi, inflasi rendah yang difasilitasi oleh pasar bebas, bukan dari peningkatan kesejahteraan mayoritas rakyat. Namun sejarah ekonomi juga menunjukkan ujung dari liberalisme pasar adalah krisis ekonomi. Mengapa? Dipandu oleh doktrin liberal, komoditas diproduksi tidak untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang konkret, tapi untuk memenuhi kebutuhan pasar yang abstrak. Akibatnya, jumlah komoditas yang diproduksi menjadi tak terbatas jumlahnya, tergantung pada fluktuasi (naik-turunnya) permintaan pasar yang tak bisa diramalkan sehingga terjadi produksi massal. Tetapi bagaimana memasarkan produksi massal itu? Inilah yang tak bisa dipecahkan kapitalisme sehingga terjadi kelebihan produksi (overproduction).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment