10 Fakta Menarik Chelsea Vs Barcelona

 Pertandingan semifinal Liga Champions Chelsea melawan Barcelona menyimpan sejumlah kisah menarik. Selain karena mengandung dendam dari semifinal Liga Champions 2009 lalu, partai ini dipastikan berlangsung meriah. Inilah fakta di balik pertemuan kedua tim:

1. Seri. Itulah rekor pertemuan kedua tim. Dari 10 kali main, setiap tim menang tiga kali dan 4 laga lainnya berakhir seri. Jumlah gol yang dicetak juga sama: 15 gol.

2. Sepanjang musim ini, Chelsea selalu menang di Stamford Bridge, sedangkan Barcelona tak pernah kalah ketika menjalani partai tandang.

3. Ini semifinal keenam Chelsea dalam sembilan tahun belakangan. Bagi Barcelona, ini adalah semifinal kelima secara berturut-turut.

4. Catatan Chelsea berhadapan dengan tim asal Spanyol adalah 13 menang, 10 seri, dan 6 kalah.

5. Sejarah Barcelona menghadapi tim Inggris adalah 24 menang, 18 seri, dan 16 kalah. Kunjungan terakhir Barca ke London adalah mengalahkan Manchester United di final, Mei lalu, di Stadion Wembley.

6. Dari keempat semifinalis, Chelsea adalah tim yang paling sedikit mencetak gol dan paling banyak kebobolan, yakni mencetak 21 gol dan kebobolan 9 kali.

7. Sementara itu, Barcelona adalah tim yang paling produktif dengan 33 gol. Peluang yang diciptakan juga yang paling banyak dengan 86 tembakan dan 58 sepakan sudut.

8. Selain sebagai pencetak gol terbanyak dengan 14 gol, Lionel Messi adalah pemain dengan percobaan gol paling banyak, yakni 34 kali ke arah gawang dan 26 meleset.

9. Messi belum pernah mencetak gol ke gawang Chelsea dari dua kali pertemuan. Fernando Torres mencetak tujuh gol ke gawang Barcelona selama memperkuat Atletico Madrid.

10. Chelsea baru akan memperebutkan Piala FA menghadapi Liverpool di final. Sedangkan Barcelona sudah mengoleksi tiga trofi musim ini: Super UEFA, Super Spanyol, dan Piala Dunia Antarklub FIFA.

Read More......

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sosiologi Konsumsi


Jika ungkapan Descartes “Aku berpikir, maka aku ada!” menjadi kebanggan dan wujud peneguhan eksistensi manusia berdasarkan rasionalitas. Saat ini, yang dominan adalah, “Aku berbelanja, maka aku ada!” Sebuah peneguhan eksistensial manusia yang kadang tanpa dasar nalar. Kapitalisme pasar membentuk manusia menjadi makhluk ekonomi sebagai satu-satunya dimensi kehidupannya. Tentu saja, kemudian, hubungan sosial antar sesama manusia sarat dengan simbol dan logika ekonomi.

Ketika produksi kapitalisme mencapai puncak kelimpahan barang, sehingga kebutuhan tercukupi, perusahaan berusaha bukan hanya mencipta barang, namun sekaligus menciptakan kebutuhan. Ini merupakan upaya kapitalisme pasar untuk terus menguasai kehidupan. Melalui berbagai instrumen dan cara-cara persuasif, kapitalisme memaksa masyarakat mengkonsumsi tanpa henti. Muncul kemudian kebutuhan semu, bukan karena butuh (need), namun lebih pada ingin (want).

Produksi tentu tak lepas dari konsumsi, pasangannya. Sebab keduanya saling membutuhkan. Pada awal perkembangan masyarakat, produksi adalah upaya usaha memenuhi kebutuhan sendiri. Namun, karena barang yang dihasilkan berlebih maka ditukarkan barang lain, untuk tujuan yang berbeda. Pertukaran barang ini kemudian memunculkan pasar, dan barang tersebut berubah nilainya menjadi komoditas. Karl Marx melihat hal tersebut sebagai perubahan nilai guna (use value) menjadi nilai tukar (exchange value).

Dari gambaran di atas kita melihat bahwa, mengkonsumsi sebenarnya bukan hanya persoalan pada zaman kini, ketika mall dan pusat perbelanjaan menjamur. Konsumsi merupakan perilaku primitif manusia. Bahkan, menurut Plato, terbentuknya masyarakat merupakan akibat manusia tak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Yang nampak berbeda adalah intensifikasi dan perluasan jaringan pemasaran yang lebih kompleks. Munculnya pusat perbelanjaan dalam bentuk yang lebih “baru”, membuat konsumsi menjadi sebentuk candu.

Tentu saja perubahan pola perilaku konsumsi tidak terjadi begitu saja. Perubahan pola dan perilaku konsumsi terjadi seiring perkembangan infrastruktur masyarakat. Berbagai penemuan di bidang teknologi dan meletusnya Revolusi Industri, mengkonsumsi menjadi niscaya setelah produksi. Produksi barang secara massal meniscayakan proses produksi mengalami percepatan. Begitu pula usaha untuk menghabiskan dan menggunakan barang. Zaman ini memunculkan masyarakat baru yakni masyarakat konsumen. Masyarakat inilah yang menjadi pengguna barang yang dihasilkan oleh produksi massal tersebut.

Perubahan sosial serta produksi massa industrial yang mempengaruhi pola perilaku mengkonsumsi mendorong beberapa tokoh untuk mengkajinya. Oleh Haryanto Soedjatmiko, dalam Saya Berbelanja, maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris (Jalasutra: 2008), membagi perilaku konsumsi ke dalam tiga periode dengan masing-masing kondisi sosial di sekitarnya. Tiga periode tersebut yakni; periode klasik, kemunculan sosiologi konsumsi, dan periode posmodernis.

Teori konsumsi klasik digawangi oleh Karl Marx, Max Weber, dan George Simmel. Pada dasarnya Marx adalah seorang yang lantang mengecam kapitalisme dengan berbagai implikasi eksploitasinya. Sehingga, tak mengherankan bila Marx mengatakan bahwa hasil produksi tidak secara langsung terkait dengan kebutuhan masyarakat. Barang produksi adalah komoditas yang mendahulukan nilai tukar daripada nilai guna. Dalam kondisi demikian, masyarakat merupakan obyek yang didorong produsen untuk mengkonsumsi. Masyarakat berada pada subordinat produksi, di mana produsen mampu menciptakan kebutuhan masyarakat.

Pada saat kapitalisme mulai meletakkan dasar-dasarnya dengan kuat. Berikutnya Weber muncul dengan ide tentang Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Kritik Weber bahwa, etika Protestan bukan hanya menghabiskan barang konsumsi sebagaimana yang dilakukan masyarakatnya saat itu. Namun, pada investasi dan kerja keras. Weber tampak ingin semakin memperjelas dan memperkokoh kapitalisme dengan bentuk investasi kembali keuntungan produksi. Meskipun masyarakat kental dengan semangat Kalvinisme ini, namun perilaku konsumsi tidak berhenti. Masyarakat mulai sadar akan kesenangan berkat kemajuan industri.

Tokoh berikutnya adalah George Simmel, yang menekankan interaksi pertukaran, terutama dalam perekonomian. Munculnya uang sebagai alat tukar dan munculnya perkotaan memunculkan model baru dalam mengkonsumsi. Pertumbuhan kelas sosial urban dan model konsumsi baru tersebut tidak bisa dipisahkan dari modifikasi barang konsumsi. Pertumbuhan imajinasi mengenai barang konsumsi muncul dari penilaian terhadap barang konsumsi. Puncak imajinasi itu bergantung dan berperan pada munculnya masyarakat urban yang berorientasi pada pemasaran mode (fashion) (Chaney, 2006: 55). Simmel menyimpulkan bahwa mengkonsumsi membentuk konstruksi masyarakat dan menimbulkan budaya baru masyarakat. Di sini terjadi pergeseran dari masyarakat konsumen (consumer society) menjadi budaya konsumen (consumer culture).

Kemudian muncul seorang sosiolog dari Prancis, Pierre Bourdieu, yang yang menurut buku ini mempelopori kemunculan periode sosiologi konsumsi. Bourdieu menghubungkan konsumsi dengan simbol-simbol sosial dalam masyarakat. Dalam pandangannya produk konsumsi, merupakan simbol status dan kelas sosial seseorang. Musik klasik misalnya, hanya dinikmati orang-orang tertentu (biasanya dari kelas atas). Konsumsi dibentuk oleh ide, simbol, selera, yang kemudian secara tidak langsung maupun tidak menciptakan pembedaan dalam masyarakat. Dalam konsumsi, selera, preferensi, gaya hidup, dan standar nilai ditentukan oleh kelas yang lebih superior. Kelas atas bukan hanya unggul secara ekonomi politik, namun juga budaya dengan menentukan dan melakukan hegemoni dalam pola-pola konsumsi.

Pada perkembangan kapitalisme akhir, dalam teori-teori sosial muncul posmodernisme. Posmodernitas menurut Baudrillard adalah dunia yang penuh dengan simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang mengkonsumsi, maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas barang tersebut. Konsumsi dirayakan seiring dengan munculnya pusat perbelanjaan (super)modern, kapitalisme neoliberal, dan pasar bebas. Kajian terhadap konsumsi masyarakat posmodern oleh buku ini diwakili dua tokoh posmodernis, yakni Mike Featherstone dan Jean Baudrillard.

Berbeda dengan dua zaman sebelumnya atau juga dalam pandangan Featherstone, di mana konsumsi menjadi sumber diferensiasi masyarakat. Justru posmodernitas menurut Baudrillard megaburkan kelas dan status sosial. Bahkan Baudrillard menyatakan era posmodern sebagai “matinya yang social”, kematian masyarakat. Siapa pun yang mampu bisa merayakan konsumsi tanpa memandang kelas dan status sosial. Konsumsi memberikan identitas tertentu tanpa memandang batas-batas sosial.

Featherstone menjelaskan budaya konsumen dengan membaginya ke dalam tiga tipe Chaney, 2006: 67); pertama, konsumerisme merupakan tahap tertentu kapitalis. Kedua, konsumerisme dan konsumsi merupakan persoalan yang lebih sosiologis mengenai relasi benda-benda dan cara melukiskan status. Praktik konsumsi merupakan strategi untuk menciptakan dan membedaan status sosial. Tipe kedua dari konsumsi ini dapat kita lihat dengan munculnya komunitas pengguna barang tertentu, misalnya klub motor merk tertentu. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Baudrillard di atas. Ketiga, Featherstone melihat munculnya kreativitas konsumsi. Kreativitas konsumsi ini terkait dengan estetikasi konsumsi yang pada perkembangan selanjutnya menciptakan mode, estetisasi bentuk, dan gaya hidup.

Tokoh selanjutnya, Jean Baudrillard, melihat konsumerisme sebagai logika untuk memenuhi kepuasan hasrat. Melimpahnya barang konsumsi bukan lagi karena kebutuhan masyarakat, namun lebih pada pemuasan nafsu mereka. Dalam pandangan Baudrillard, kapitalisme akhir memanfaatkan mesin hasrat tersebut untuk terus membelenggu masyarakat dalam jerat konsumerisme.

Praktik-praktik konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat. Konsumsi menjadi cara pandang (baru) masyarakat. Seiring dengan terus beroperasinya industri lintas negara dan tumbuhnya supermarket, hipermarket, dan mall. Bahkan dengan strateginya yang cantik, barang konsumsi disesuaikan dengan pengalaman dan pandangan filosofis masyarakat setempat (fordisme). Munculnya strategi fordisme tersebut terus-menerus menempatkan masyarakat dalam kubangan konsumerisme.

Kajian tentang konsumerisme dan sosiologi konsumsi menjadi penting saat ini. Sigfikansinya adalah, perubahan masyarakat saat ini cenderung menuju pada budaya komsumeris seiring menjamurnya pusat perbelanjaan. Kajian ini dimulai dari tokoh klasik, tokoh sosiologi konsumsi, dan teori posmodern dengan konteks sosial masing-masing zaman mereka. Kajian keilmuan sosiologi dalam masyarakat konsumsi jelas akan senantiasa penting di masa yang akan datang.

Read More......

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Metode Penelitian Kualitatif

Maaf ya teman - teman beru bisa share lagi tentang pengetahuan ini,karena banyak tugas yang harus diselesaikan,,hehe

Langsung saja ke pembahasan ea............



  • Ruang Lingkup Penelitian Kualitatif
Terdapat kesalahan pemahaman di dalam masyarakat bahwa yang dinamakan sebagai kegiatan penelitian hanyalah yang berbentuk survey, menggunakan sebuah daftar pertanyaan,dan yang datanya dianalisis dengan menggunakan teknik statistik.Pemahaman ini berkembang karena kuatnya pengaruh aliran positivistik dan metode penelitian kuantitatif.

Ada dua kelompok metode dalam ilmu sosial yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Di antara kedua penelitian tersebut sering timbul perdebatan di seputar masaalah metodologi penelitian.Masing - masing penelitian berusaha nenpertahankan kekuatan metodenya.

Salah satu argumen yang di kedepankan oleh metode penelitian kualitatif adalah keunikan manusia atau gejala sosial yang tidak dapat dianalisis dengan metode yang dipinjam dari ilmu eksakta.Metode penelitian kualitatif menekankan pada metode penelitian observasi di lapangan dan datanya dianalisis dengan cara non-statistik meskipun tidak selalu harus menabukan penggunaan angka.

Penelitian kualitatif lebih menekankan pada penggunaan diri si peneliti sebagai alat pengumpul data. Peneliti harus mampu mengungkap gejala sosial di lapangan dengan mengerahkan segala fungsi indranya.Dengan demikian, peneliti harus dapa diterima oleh responden dan lingkungannya agar mampu mengungkap data yang tersembunyi melalui bahasa tutur, bahasa tubuh, perilaku maupun ungkapan-ungkapan yang berkembang dalam dunia maupun lingkungan responden.

Ciri-ciri metode penelitian kualitatif berdasarkan hasil rangkuman dari literatur Lexy J. moleong dan Nasution di bagi menjadi 15 , yaitu :
  1. Dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan dalam kondisi yang alamiah atau natural setting.
  2. Peneliti sebagai alat peneliti.
  3. Dalam penelitian kualitatif diusahakan pengumpulan data secara deskriptif yang dituangkan dalam bentuk laporan.
  4. Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses daripada hasil.
  5. Latar belakang tingkah laku atau perbuatan dicari maknanya.
  6. Mengutamakan data langsung atau first hand.
  7. Dalam penelitian kualitatif dipergunakan metode tringulasi.
  8. Mementingkan rincian kontekstual.
  9. Subyek yang diteliti berkedudukan sama dengan peneliti.
  10. Penelitian kualitatif mengutamakan perspektif emik.
  11. Verifikasi.
  12. Pengambilan Sampel secara purposif.
  13. Menggunakan "audit trial".
  14. Ananlisis dilakukan sejak awal.
  15. Teori dasar (grunded theory).
Dalam penelitian ,betapapun sederhanya selalu menjumpai berbagai hambatan.Hambatan-hambatan tersebut meliputi hambatan internal dan eksternal. Hambatan internal merupakan hambatan kegiatan penelitian yang datangnya dari pihak peneliti sendiri,sedangkan hambatan eksternal datangnya dari pihak luar,yang berada di luar kemampuan peneliti untuk mengatasinya secara langsung.
Di dalam melakukan penelitian, peneliti harus melakukan penghargaan terhadap kode etik penelitian.Adapun butir-butirnya antar lain meliputi :
  1. Keaslian permasalahan  peneliti.
  2. Kutipan pendapat orang lain.
  3. Pengumpulan data.
  4. kerahasiaan hasil penelitian.
  • Paradigma dan Perspektif Penelitian Kualitatif
Ada dua metode berfikir dalam perkembangan pengetahuan, yaitu metode deduktif yang dikembangkan oleh Aristoteles dan metode induktif yang dikembangkan oleh Francis Bacon.Metode deduktif adalah metode berfikir yang berpangkal dari hal-hal umum atau teori yang menuju pada hal-hal khusus atau kenyataan.Sedangkan metode induktif adalah sebaliknya.Dalam pelaksanaan, kedua metode tersebut diperlukan dalam penelitian.

Kegiatan penelitian memerlukan metode yang jelas,dalam hal ini ada dua penelitian yakni metodi kualitatif dan metode kuantitatif. Pada mulanya metode kuantitatif dianggap memenuhi syarat sebagai metode penelitian yang baik,karena menggunakan  alat-alat atau instrumen untuk mengukur gejala-gejala tertentu dan diolah secara statistik. Akan tetapi dalam perkembangannya,data yang berupa angka dan pengolahan mamtematis tidak dapat menerangkan kebenaran secara meyakinkan.Oleh sebab itu digunakan metode kualitatif yang dianggap mampu menerangkan gejala atau fenomena secara lengkap dan menyeluruh.

Tiap penelitian berpegang teguh pada paradigma tertentu. Paradigma menjadi tidak dominan lagi dengan timbulnya paradigma  . Pada mulanya orang orang memandang bahwa yang terjadi bersifat alamiah dan peneliti bersifat pasif atau tinggal memberi makna dari apa yang terjadi dan tanpa ingin untuk merubah.Masa ini disebut juga masa pra-positivisme.
Setelah itu timbul pandangan baru yang berpendapat bahwa peneliti dapat dengan sengaja mengadakan perubahan dalam dunia sekitar dengan melakukan berbagai eksperimen, maka timbul metode ilmiah.Masa ini disebut positivisme.

Pandangan positivisme dalam perkembangannya dibantah oleh pendirian baru yang disebut post-positivisme.Pendirian post-positivisme ini bertolak belakang dengan positivisme.Dapat dikatakan bahwa post-positivisme sebagai reaksi terhadap positivisme.Menurut pandangan post-positivisme kebenaran tidak hanya satu tetapi lebih kompleks,sehingga tidak dapat diikat oleh satu teori tertentu saja.

  • Dasar Teori Penelitian Kualitatif
Pada penelitian kualitatif, teori diartikan sebagai, paradigma.Seorang peneliti dalam kegiatan penelitian, baik yang dinyatakan secara eksplisit maupun tidak sudah pasti menerapkan paradigma, antara lain adalah :
  1. Pendekatan fenomologis, yaitu pemahaman tentang arti peristiwa dan kasitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
  2. Pendekatan interaksi simbolik, yang berasumsi bahwa obyek ruang, situasi,dan peristiwa tidak memiliki pengertiannya sendiri, melainkan pengertian itu diberikan kepada mereka.
  3. Pedekatan kebudayaan, yaitu memahami perilaku seseorang harus dalam koridor kebudayaan orang tersebut.
  4. Pendekatan etnometodologi, yaitu upaya unruk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri.
  • Masalah Penelitian Kualitatif
Perumusam masalah merupakan salah satu tahap diantara sejumlah tahap penelitian yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan penelitian.Tanpa perumusan masalah, suatu kegiatan penelitian akan menjadi sia-sia bahkan tidak membuhkan hasil apa-apa.
Perumusan masalah atau research questions  atau disebut juga sebagai research problem, diartikan sebagai fenomena sendiri, maupun dalam kedudukannya sebagai fenomena yang saling terkait antar fenomena yang satu dengan yang lainnya, baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat. demikian pentingnya kedudukan perumusan masalah di dalam kegiatan penelitian, sampai-sampai memunculkan suatu anggapan bahwa kegiatan melakukan perumusan masalah merupakan separuh dari penelitian itu sendiri.

Perumusan masalah dapat dibedakan dalam fua sifat yaitu perumusan masalah deskriptif dan eksplanatoris.Perumusan masalah deskriptif apabila tidak menghubungkan antar fenomena, dan perumusan masalah eksplanatoris apabila rumusannya menunjukan adanya hubungan atau pengaruh antara dua atau lebih fenomena.

Perumusan masalah memiliki fungsi sebagai berikut :
  1. Sebagai penyebab kegiatan penelitian menjadi ada dan dapat dilakukan.
  2. Sebagai pedoman, penentu arah, atau fokus dari suatu penelitian.
  3. Sebagai penentu jenis macam apa yang perlu dan harus dikumpulkan oleh peneliti serta jenis data apa yang tidak perlu dan harus disisihkan oleh peneliti.
  4. Dengan adanya perumusan masalah penelitian maka para peneliti menjadi dapat dipermudah dalam menentukan siapa yang akan menjadi populasi dan sampel penelitian.
Ada setidak-tidaknya 3 kriteria yang diharapkan dapat dipenuhi dalam perumusan masalah penelitian, yaitu :
  1. Perumusan masalah berwujud kalimat tanya atau yang bersifat kalimat interogatif.
  2. Suatu masalah penelitian harus bermanfaat atau diharapkan akan dapat memberikan sumbangan teoritik.
  3. Perumusan masalah yang baik hendaknya dirumuskan di dalam konteks kebijakan pragmatis yang sedang aktual sehinnga dapat diterapkan secara nyata bagi proses pemecahan masalah.
Berkenaan dengan penempatan perumusan masalah penelitian,didapati variasi antara lain,
  1. Ditempatkan dibagian paling awal dari suatu sistematika penelitian.
  2. Ditempatkan setelah latar belakang atau bersama-sama dengan latar belakang penelitian.
  3. Ditempatkan setelah tujuan penelitian.
Dimanapun rumusan masalah penelitian ditempatkan sebenernya tidak terlalu penting dan tidak mengganggu kegiatan penelitian yang bersangkutan karena yang penting adalah bagaimana kegiatan penelitian itu dilakukan dengan memperhatikan rumusan masalah sebagai pengarah dari kegiatan penelitiannya.Artinya kegiatan penelitian dilakukan oleh siapapun, hendaknya memiliki sifat yang konsisten dengan judul dan rumusan masalah yang ada.Kesimpulan yang didapat dari suatu kegiatan penelitian hendaknya kembali mengacu pada judul dan permasalahan penelitian yang dirumuskan.
  • Strategi Penelitian Kualitatif
Setiap kegiatan, termasuk penelitian sudah pasti memerlukan strategi tertentu di dalam pelaksanaannya.Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan suatu kegiatan, terlebih lagi kegiatan penelitian tidak mengalami hambatan maupun kegagalan.Penelitian merupakan suatu kegiatan yang rumit dan panjang.Oleh karena itu, didalam pelaksanaannya diperlukan pemilihan dan penetapan strategi agar tidak mengalami kegagalan.Ada banyak strategi yang dapat dipilih bagi kegiatan penelitian.Namun demikian yang akan dikemukakan ada 2 saja, yaitu Strategi Partisipatori dan Strategi Klinis.Pada strategi partisipatori kita mengenal dua pendekatan yaitu pendekatan partisipan atau menyamar dan pendekatan nonpartisipan atau tidak menyamar.

Pada setiap kegiatan sudah tentu diperlukan cara atau strategi tertentu di dalam pelaksanaannya.Demikian pula dalam kegiatan peneletian, cara atau strategi yang tepat guna sudah pasti sangat diperlukan.Hal ini perlu dilakukan mengingat kegiatan penelitian merupakan suatu kegiatan yang memiliki serangkaian proses yang sangat panjang dan rumit.Proses tersebut dapat terjadi pada tahap awal perencanaan,tahap pelaksanaan maupun tahap penyusunan laporan.Pada saat penyusunan laporan , peneliti haruslah terlebih dahulu melakukan analisis terhadap data yang diperolehnya.
Ada sejumlah cara atau strastegi yang dapat digunakan dalam oleh peneliti, antara lain meliputi :
  1. Penetapan langkah-langkah penelitian.
  2. Penetapan strategi penelitian,seperti strategi partispatori dan strategi klinis.
Ketika sampai pada analisis maupun model pendekatannya,dijumpai model discourse analysis, framing analysis, biografi dan historiografi.
  • Tahap Penelitian Kualitatif
Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian kualitatif pada tahap pralapangan adalah menyusun rancangan penelitian yang memuat latar belakang masalah dan alasan pelaksanaan penelitian, studi pustaka, penentuan lapangan penelitian, penentuan jadwal penelitian, pemilihan alat penelitain, rancangan pengumpulan data, rancangan prosedur analisa data, rancangan perlengkapan yang diperlukan di lapangan, dan rancangan pengecekan kebenaran data.Sementara itu persiapan perlengkapan penelitian berkaitan dengan perizinan,perlengkapan alat tulis, alat perekam, jadwal waktu penelitian, obat-obatan, dan perlengkapan lain untuk keperluan akomodasi.

Pemilihan lapangan penelitian didasarkan pada kondisi lapangan itu sendiri untuk dapat dilakukan penelitian sesuai dengan tema penelitian.Pertimbangan lain adalah kondisi geografis, keterbatasan waktu, biaya dan tenaga.Mengurus izin penelitian hendaknya dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu siapa-siapa yang berwenang memberikan izin.Pendekatan yang simpatik sangat perlu,baik kepda pemberi izin di jalur formal maupun informal.

Menjajaki lapangan penting artinya selain untuk mengetahui apakah daerah tersebut sesuai untuk penelitian yang ditentukan, juga untuk mengetahui persiapan yang harus dilakukan peneliti.Secara rinci dapat dikemukakan bahwa penjajakan lapangan ini adalah untuk memahami pandangan hidup dan penyesuaian diri dengan keadaan lingkungan tempat tinggal.Dalam memilih dan memanfaatkan informan, perlu ditentukan bahwa informan adalah orang-orang yang tahu tentang situasi dan kondisi daerah penelitian, jujur, terbuka, dan mau memberikan informasi yang benar.

Dalam kediatan penelitian, para peneliti harus melakukan penjajakan telebih dahulu.Adapun aspek yang perlu dijajaki antara lain meliputi dimensi struktur sosial dan dimensi kebudayaan.Dengan mengetahui kedua dimensi tersebut maka peneliti akan menjadi lebih mudah dalam melakukan penelitian.


Read More......

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS